Senin, 05 April 2021

PERMASALAHAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN

 


Permasalahan dalam Dunia Pendidikan

Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Etika dan Profesi Pendidikan

Dosen Pengampu :

Dr. Nofriyandi, M. Pd

Disusun Oleh :

RAHMILYA CIWITHA

176410071

4B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

TAHUN 2019

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah “Masalah dalam Dunia Pendidikan” tepat pada waktunya. Meskipun terdapat sedikit kendala dalam proses mengerjakan makalah ini, tetapi saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah “Etika dan Profesi Pendidikan” didalamnya mencatat tentang permasalahan seputar pendidikan.

Saya mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah “Etika dan Profesi Pendidikan” yaitu bapak Dr. Nofriyandi, M. Pd yang telah membantu saya dalam proses mengerjakan makalah ini, dan juga kepada teman-teman yang telah memberikan kontribusi dan pendapatnya.

Saya berharap makalah ini dapat membantu pembaca untuk memahami materi dan juga menambah wawasan tentang permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan. Jika ada kesalahan dalam penulisan dan penyusunan makalah ini saya mohon maaf karena di dunia ini tidak ada yang sempurna tentu masih terdapat kekuarangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat saya harapkan sebagai bahan perbaikan untuk makalah berikutnya. Atas kritik dan sarannya saya ucapkan terimakasih.

Pekanbaru, 28 Februari 2019

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pasific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat, dan bakat yang dimiliki sisiwanya.

  1. Rumusan Masalah
  2. Apa yang menjadi pokok mendasar permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia?
  3. Bagaimana kasus-kasus permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia?
  1. Tujuan Penulisan
  2. Untuk mengetahui pokok mendasar permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
  3. Untuk menjelaskan bagaimana kasus-kasus permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

Permasalahan dalam Dunia Pendidikan di Indonesia

Mengkaji permasalahan pendidikan di Indonesia sama seperti mengurai benang kusut, sulit menemukan ujung pangkal permasalahannya. Proses pendidikan yang dijalan selama hampir 74 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tidak membuat perubahan yang signifikan terhadap pola pikir sumber daya manusianya.

Permasalahan demi permasalahan di Indonesia dituai tiap tahunnya. Permasalahan pun muncul mulai dari aras input, proses, sampai output. Ketiga aras ini sejatinya saling berkaitan satu sama lain. Input mempengaruhi keberlanjutan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran turut mempengaruhi hasil output. Seterusnya, output akan berlanjut ke input dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi atau masuk ke dalam dunia kerja, dimana teori mulai dipraktekkan.

Kasus-Kasus Permasalahan yang Dihadapi Dunia Pendidikan di Indonesia

    • Kualitas Pendidikan Indonesia Masih Rendah

Menurut Fauzie (Kamis (07/06/2018) : CNN Indonesia) memaparkan bahwa Bank Dunia (World Bank) menyebutkan kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, meski perluasan akses pendidikan untuk masyarakat dianggap sudah meningkat cukup signifikan.

Rendahnya kualitas pendidikan yang ada di Indonesia tercermin dari peringkat Indonesia yang masih berada di posisi tertinggi dari negara-negara tetangga. Indikator peringkat kualitas pendidikan ini terlihat dalam jumlah kasus buta huruf.  Misalnya, 55% anak usia 15 tahun di Indonesia secara fungsional buta huruf, dibandingkan kurang dari 10% di Vietnam.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (dalam Fauzie, Kamis (07/06/2018) : CNN Indonesia) mengatakan memang kualitas pendidikan di Tanah Air masih menjadi tantangan bagi pemerintah. Padahal, dari sisi anggaran, dana untuk pendidikan telah mecapai Rp444 triliun atau sekitar 20% dari total belanja Anggaran Pendapatan dan Belanjan Negara (APBN) 2018.

  • Masalah Pemerataan Pendidikan

Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, ditanah air Undang-Undang No 4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pada bab XI pasal 17 berbunyi:

Tiap-tiap warga Negara republic Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah dipenuhi”.

Selain itu, pemerataan pendidikan masih belum merata pada daerah-daerah seperti desa yang terpencil, terpelosok maupun daerah yang identik dengan perekonomian yang rendah. Mayoritas penduduk yang tinggal di daerah ini mempunyai pola pikir yang masih minim mengenai pendidikan, transportasi, komunikasi, dll.

Melihat kondisi nyata saat ini, pada umumnya pemerintah hanya mengoptimalkan pendidikan yang ada di kota dan mengabaikan pendidikan yang berada di daerah terpencil. Sehingga, di daerah terpencil menimbulkan masalah kurangnya sarana dan prasarana dalam hal pendidikan, contohnya tenaga pengajar yang menumpuk di daerah perkotaan sedangkan di daerah terpencil minim akan tenaga pengajar.

  • Ruangan Kelas Rusak, Siswa SD di Kudus Belajar di Ruang Perpustakaan

Ruang kelas adalah suatu ruangan dalam bangunan sekolah yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan tatap muka dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Kelayakan ruanga kelas juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan anak. Artinya adalah ruang kelas yang nyaman akan berpotensi untuk membuat peserta didik berkonsetrasi dalam belajar.

Lain hal yang di alami oleh sembilan siswa kelas 1, SDN 1 Bacin, Kudus. Terpaksa harus menempati ruangan perpustakaan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM). Hal ini lantaran ruang kelas mengalami kerusakan parah yang bisa membahayakan keselamatan siswa.   Selain kelas 1, kondisi memprihatinkan juga terjadi di kelas 2, 3, dan4.

Menurut Setiawan (Kamis (05/102017) : detiknews) pihak sekolah sudah mengajukan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebanyak 2 kali untuk renovasi ruang kelas yakni pada tahun 2016 dan 2017. Namun bantuan tersebut hanya sekedar renovasi ringan seperti mengecat, tidak halnya untuk renovasi bangunan.

  • Paradigma Peserta Didik yang Sertificate Orientide

Paradigma ini masih melekat dalam benak kebanyakan peserta didik. Peserta didik masih berfikir bahwa sekolah hanyalah tempat untuk mendapatkan pekerjaan yang bersifat formal semata. Masalah yang lebih serius adalah ketika peserta didik beranggapan bahwa pekerjaan itu bisa didapatkan dengan mudah hanya dengan menggunakan selembar ijazah. Implikasinya adalah mereka mengganggap bahwa ijazah kelulusan adalah segala-galanya.

Hal ini menimbulkan konsekuensi yaitu peserta didik tidak belajar serius selama proses pendidikannya dan tidak memiliki kualitas, terlebih lagi untuk belajar seumur hidup. Sehingga, peserta didik berfikir bagaimana agar bisa lulus ujian bukan bagaimana agar memiliki potensi dan skill.

  • Lemahnya Pengakuan Negara atas Pendidikan di Pesantren

Masih lemahnya pengakuan Negara atas pendidikan di pesantren dan madrasah (diniyah) hingga saat ini masih menjadi permasalahan dalam bidang pendidikan yang dihadapi Indonesia. Walaupun model pendidikan tersebut sudah berperan sejak dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Menurut Hermawan (Rabu (03/052017) : Republika), peran pendidikan di pesantren dan madrasah (diniyah) sudah termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Sehingga, tidak heran jika belakangan ini kekerasan atas nama agama, SARA, dan benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan agama di sekolah tidaklah cukup memadai.

Hal tersebut terjadi karena pendidikan agama tidak bisa dilakukan secara instan di sekolah. Jadi, sekolah perlu bersinergi dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah untuk memberikan pemahaman agama yang komprehensif (tafaqquh fiddin). Untuk itu, RUU madrasah dan pesantren harus masuk  Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, yang mana tujuan tersebut agar terjadinya kesetaraan dalam bidang pendidikan agama, sehingga meminimalisir terjadinya dikotomi pendidikan agama.

  • Munculnya Benih Paham Radikalisme dan Krisis Nasionalisme

Mungkin tidak terlalu tepat jika disimpulkan bahwa banyak anak didik usia sekolah terpapar ideologi radikal. Namun, jika mengikuti banyak survei menunjukkan terdapat benih-benih radikalisme dan saat yang sama meningkatnya krisis nasionalisme. 

Dua isu inilah yang mesti mendapatkan perhatian dari penataan dan perbaikan penyelenggaraan pendidikan. Karena jika elemen tersebut menguat akan menjadi batu sandung bagi pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan harus dapat membangun kepercayaan anak didik bahwa Indonesia adalah tempat yang dapat menjamin kehidupan yang damai, bebas menjalankan syariat agama, dan keyakinannya masing-masing tanpa harus meniadakan satu dengan yang lainnya.

  • Masih Rendahnya Kesejahteraan Guru di Indonesia

Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan. Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus di perhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik.

Permasalahan rendahnya kesejahteraan guru memaksa guru untuk mencari kerja sambilan. Hal tersebut biasanya akan berimpilikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan, dikarenakan melemahnya konsentrasi pada peningkatan kualitas dan kapasitas dirinya.

  • Pungutan Liar di Sekolah Masih Merajalela

Menurut Hermawan (Rabu (03/052017) : Republika), penerapan sekolah ramah anak menjadi penting untuk direvitalisasi. Di sisi lain, fakta pungutan liar seakan tidak dapat dikendalikan, terutama terjadi di sekolah negeri yang seharusnya bebas pungutan.

Sebagian besar kasus pungutan liar (pungli) terjadi akibat komunikasi yang tidak terbangun dengan baik antara sekolah dengan orang tua. Seringkali tujuan program yang digagas dengan baik untuk memajukan sekolah, tetapi dalam prosesnya tidak melalui komunikasi yang transparan dan akuntabel.

Hal utama yang menjadi faktor pendorong kasus pungli adalah pengasilan yang dapat dikatakan tidak bisa untuk mencukupi hidup yang tidak berbanding dengan tugas / jabatan yang dijalankan seseorang. Faktor lainnya yang menyebabkan kasus pungli adalah integritas pelaku yang lemah, terbukanya peluang atau kesempatan, kurang tegasnya aturan, dan regulasi.

Dalam perkara tindak pidana pungutan liar (pungli) tidak terdapat secara pasti dalam KUHP. Namun demikian, kasus pungli bisa disamakan dengan perbuatan pidana penipuan, pemerasan, dan korupsi yang telah diatur dalam KUHP antara lain, yaitu pasal 368 KUHP, pasal 415 KUHP, pasal 418 KUHP, dan pasal 423 KUHP.

  • Paradigma Tujuan Pendidikan di Masyarakat Masih Banyak yang Salah

Masyarakat terutama di pedesaan masih berparadigma bahwa pertama, tujuan pendidikan adalah untuk mendapatkan pekerjaan semata bukan untuk mendewasakan peserta didik, kedua, masih banyak masyarakat yang berpandangan  bahwa ukuran kesuksesan dari pendidikan adalah menjadi PNS, jadi meskipun berhasil dalam bidang materi namun tidak menjadi PNS atau berseragam dinas maka akan dianggap bahwa pendidikannya telah gagal. Paradigma seperti ini yang akan membuat tujuan pendidikan masih memprihatinkan meskipun terkesan sepele namun cukup fatal karena akan membentuk pola pikir anak didik yang salah pula.

  • Ketidak-Sesuaian antara Dunia Pendidikan dengan Dunia Kerja

Saat ini ada lebih dari 7 juta angkata kerja belum mempunyai pekerjaan. Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap pakai.

Menurut Hermawan (Rabu (03/052017) : Republika) hal ini menunjukkan bahwa ada gap antara dunia industri dengan ketersediaan tenaga terampil di Indonesia. Sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja asing akan meminggirkan dan mempersiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu menjawab masalah ini.

  • Wajib Belajar 12 Tahun Masih Sebatas Retrorika

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melakukan penelitian tentang orientasi anggaran pendidikan yang berkeadilan pada program wajib belajar 12 tahun. Hasil penelitian menyatakan belum adanya prioritas pemerintah daerah pada program ini.

Seperti yang diketahui, program wajib belajar 12 tahun adalah salah satu program dari Nawacita. Namun, menurut JPPI hal ini masih belum beranjak dari sekerdar retrorika saja.

Beberapa daerah masih menggunakan istilah wajib belajar 9 tahun, dan belum ada komitmen dalam implementasi wajib belajar 12 tahun. Temuan lainnya adalah penyelenggaraan pendidikan di daerah belum berorientasi pada kualitas guru.

  • Maraknya Kasus Kekerasan yang Ada di Sekolah

Potret buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah. Modus kekerasan seperti ini sudah sangat sulit untuk diurai, dikarenakan para pelaku yang melakukan tindak kekerasan atau korban tindak kekerasan berasal dari berbagai kalangan.

Komponen utama sekolah, yakni, guru, wali murid, murid, dan siswa satu sama lain berperan ganda. Artinya, masing-masing dapat berperan sebagai pelaku serta dapat pula berperan sebagai korban.

Menurut Muis, Syafiq, dan Savira (2011 : 64) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan yang ada di sekolah, yaitu:

  1. Kekerasan dalam pendidikan bisa muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik.
  2. Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku.
  3. Kekerasan dalam pendidikan mungkin pula dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media sosial.
  4. Kekerasan bisa jadi merupakan refleksi dan perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution dan jalan pintas.
  5. Kekerasan mungkin pula dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
  • Rendahnya Kompetensi Guru

Menurut Firli (Sabtu (02/05/1015) : Britagar.id menjelaskan bahwadistribusi guru di Indonesia tidak merata. Berdasarkan data Teacher Employment and Deployment mencatanbahwa 21% sekolah di perkotaan, 66% di perdesaan atau daerah terpencil, dan 34% sekolah pada umunya di Indonesia kekurangan guru.

Catatan pentingnya, guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang memadai. Kekurangan tenaga pengajar ini menyebabkan kualitas pendidikan berbeda, bahkan anak-anak yang sekolah di perkotaan sekalipun.

  • Tertinggalnya Pendidikan di Daerah Terpencil

Desa terpencil merupakan kawasan perdesaan yang terisolasi dari pusat pertumbuhan/ daerah lain akibat tidak memiliki atau kekurangan sarana (infrastruktur) dan transportasi, sehingga menghambat pertumbuhan/ perkembangan kawasan. Dengan demikian, maka hal tersebut dapat menyebakan pendidikan di Indonesia belum merata. Kesenjangan kualitas pendidikan antara di kota dengan di daerah terpencil masih tinggi. Masih banyak sekolah-sekolah di daerah terpencil yang masih belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia.

Banyaknya faktor yang memperngaruhi lemahnya pendidikan di daerah terpencil. Tiga permasalahan utama yang saling terkait dan perlu di atasi untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di daerah terpencil, yaitu:

  1. Frekuensi kedatangan pengawas dari Dinas Pendidikan terkendala tantangan geografis dan berbanding lurus dengan persentase ketidakhadiran guru.
  2. Kurangnya informasi dan transparansi tentang kriteria, mekanisme, dan pembayaran tunjangan untuk guru yang bekerja di daerah terpencil.
  3. Tidak adanya mekanisme penghargaan dan sanksi yang terkait langsung dengan keberadaan atau kualitas layanan guru.
  • Kurikulum yang Selalu Berubah-Ubah

Sistem pendidikan atau kurikulum di Indonesia masih sering berubah. Kurikulum pendidikan nasional yang dimulai sejak 1945 telah beberapa kali mengalami perubahan, yaitu :

  1. Kurikulum rencana pelajaran (1947-1968), yang terdiri dari :
  2. Kurikulum pelajaran 1947
  3. Kurikulum rencana pendidikan 1964
  4. Kurikulum 1968
  5. Kurikulum berorientasi pencapaian (1973-1997)
  6. Kurikulum 1973
  7. Kurikulum 1975
  8. Kurikulum 1984
  9. Kurikulum 1997
  10. Kurikulum berbasis kompetensi (2004-2013)
  11. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004
  12. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006
  13. Kurikulum 2013 (K-13)

Menurut Muhammedi (2016 : 51) menyebutkan bahwa setidaknya ada 3 faktor yang memperngaruhi perubahan kurikulum, yaitu

  1. Bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kolonialis.
  2. Perkembangan IPTEK yang pesat sekali.
  3. Pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia, dengan bertambahnya penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan.

Banyaknya perubahan kurikulum yang ada di Indonesia merupakan salah satu permasalah yang terdapat dalam bidang  pendidikan. Artinya, perubahan kurikulum berkaitan dengan buku pelajaran yang akan digunakan peserta didik sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Serta harga buku pelajaran atau buku penunjang memiliki harga yang cukup mahal.

  • Kondisi Darurat yang Terjadi Lantaran Banyak Kasus Korupsi yang Berkaitan dengan Anggaran Pendidikan

Menurut Nadlir  (Rabu (02/05/2018) : Kompas.com) mengatakan bahwa catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada rentang waktu 2005-2016 terdapat 425 kasus korupsi terkait anggaran pendidikan dengan kerugian Negara mencapai Rp1,3 triliun dan senilai suap Rp55 miliar.

Pelakunya melibatkan kepala dinas, guru, kepala sekolah, anggota DPR/DPRD, pejabat kementrian, dosen, dan rektor. Kasus terbanyak terjadi di dinas pendidikan.

Adapun yang menjadi objek terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu sarana dan prasarana, dana BOS, dana buku dan insfrastruktur sekolah.

  • Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%, dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.

Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan sendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil dan kebutuhan dunia kerja disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

  • Banyaknya Kasus Pelanggaran HAM

Jumlah tindakan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan jumlah juga bisa dilihat dari ragam bentuk pelanggaran, pelaku, korban, dan modus operandinya.

Menurut Nadlir (Rabu (02/05/2018) : Kompas.com) memaparkan bahwa 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan.

Data dari Komnas HAM, kasus dengan pelangaran HAM terkait isu pendidikan cenderung meningkat. Pada tahun 2017 terdapat 19 kasus sedangkan tahun 2018 sampai April 2018 sudah ada 18 kasus. Hak-hak yang dilanggar, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, dan hak atas hidup.

  • Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kurang Inovatif

Menurut Rohman (2016 :67) untuk menjadi guru professional tidak cukup hanya dengan mambaca buku yang sama, pelatihan yang sama, dan cara mengajar yang sama, serta tidak melakukan inovasi. Guru juga harus belajar dari lingkungan. Dengan kata lain, penting perlunya melibatkan diri dalam lingkungan masyarakat untuk menambah kemampuan aspek psikomotorik dan afektif. Semakin aktif seorang guru terlibat dalam masyarakat, semakin terasah kemampuannya.

Namun lain halnya ketika seorang pendidik dan tenaga kependidikan masih berpola pikir bahwa tugasnya adalah mengajar, bekerja, dan hanya melaksanakan tugas rutinitas semata, maka akan sulit lingkungan pendidikan itu berubah menjadi lebih baik. Mereka justru tidak merasa berkewajiban untuk melakukan manajemen pendidikan supaya hasil pendidikannya jauh lebih baik. Hal tersebut akan berdampak kepada peserta didik, karena pendidik dan tenaga kependidikan kurangnya melakukan inovasi baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Serta dapat membuat pola pikir peserta didik yang monoton.

  • Kurangnya Keteladanan

Masalah pendidikan saat ini, disamping terkait materi ataupun metodologi pembelajaran, hal terpenting adalah kurangnya keteladanan. Seharusnya para guru bersungguh-sungguh menjadi pendidik yang mampu memberikan keteladanan, bukan sekedar hanya menjadi pengajar.

  • Aspek Pendidikan di Daerah Terpencil Jadi Tantangan Berat Pemerintah

Akses pendidikan dasar di daerah perbatasan hingga saat ini masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan. Pemerintah masih mencari formula untuk membuat pemerataan pendidikan bagi anak-anak di daerah-daerah terpencil.

Menurut Hartik (Juam’at (01/11/2016) : Kompas.com) mengatakan bahwa mirisnya anak-anak yang ingin merasakan dunia pendidikan harus menempuh jarak yang jauh untuk sampai ke sekolah. Kondisi jalannya pun berat. Tidak hanya itu, jumlah guru yang mengajar di perbatasan dan daerah terpencil juga sedikit. Kondisi seperti ini semakin mempersulit pendirian sekolah baru di perbatasan dan daerah terpencil.

  • Pendidikan di Pedalaman Papua Memprihatinkan

Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan. Namun, masih banyak masyarakat miskin yang memiliki akses terbatas dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, dan yang memprihatinkan mereka sama sekali tidak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut juga dapat disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan, tidak adanya perhatian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah terhadap saudara-saudara yang berada di daerah pedalaman Papua, khususnya Kabupaten Paniai.

Menurut Pogau (Rabu (04/092008)  : detiknews) menjelaskan bahwa hingga saat ini daaerah di Kabupaten Paniai tidak mendapat akses pendidikan. Parahnya, berbahasa Indonesia pun tidak mengerti. Terlebih mengenal atau tahu membaca dan berhitung. Hal inilah yang mengakibatkan mundurnya dunia pendidikan di Kabupaten Paniai. Memang angka kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten Paniai tak kalah membuat miris orang-orang yang peduli.

  • Sistem Pendidikan yang Belum Berjalan dengan Baik

Sistem pendidikan dianggap belum berjalan optimal karena kualitas guru yang rendah, serta suasana pembelajaran di sekolah yang tidak kondusif. Hal lain yang turut menjadi faktor adalah kurikulum pendidikan yang membebani murid dan belum mengakomodasi keragaman budaya yang ada di masyarakat, serta metode pendidikan yang membosankan

.

  • Minimnya Fasilitas Penunjang Belajar di Sekolah

Masalah ini sudah tidak asing lagi bagi yang sering menonton berita di TV. Di zaman ini, perkembangan IPTEK sudah semakin pesat dan ini memacu laju pengetahuan manusia. Kurangnya fasilitas belajar yang tersedia di sekolah juga memberi pengaruh besar dalam masalah pendidikan di Indonesia.

Menurut Welkis (selasa (10/01/2017) : Timur Express) menjelaskan tentang fakta yang menjadi minimnya fasilitas pendidikan adalah sekolah-sekolah yang terdapat di perkotaan lebih memiliki fasilitas yang memadai dan mendukung dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang terletak didaerah terpencil atau pelosok.

Melihat gedung sekolah yang hanya beratapkan dedaunan, beralaskan tanah, dinding bangunan yang sudah berlubang dan hampir bocor, serta tidak adanya jaringan ke internet menjadi bukti nyata lalainya pemerintah dalam mendukung proses pendidikan. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan karena saat ini harus mengerjar ketertinggalan.

  • Kontroversi Diselenggarakannya Ujian Nasional (UN)

Perdebatan mengenai dilaksanakannya UN sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. Setidaknya pasti ada faktor yang menyebabkan penyimpangan selama kebijakan UN.

Menurut Welkis (Selasa (10/01/2017) : Timur Express) ada empat yang menunjang penyimpangan kebijakan UN, yaitu:

  1. Dalam ilmu pendidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akan tetapi yang menjadi penilaian dalam UN hanyalah satu aspek yaitu kognitif, sedangkan dua aspek lainnya tidak dilakukan ujian sebagai penentu kelulusan.
  2. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
  3. Aspek sosial dan psikologis, dimana para murid akan merasa tertekan dengan adanya UN karena soal-soal tersebut bukan dibuat oleh sekolah mereka.
  4. Aspek ekonomi, yaitu belum dibuatnya sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.

Pemerintah perlu mencari jalan keluar dalam masalah ini, karena tidak adil bagi para murid yang hanya di nilai berdasarkan pengetahuan saja, sedangkan sikap maupun keterampilan dibiarkan begitu saja.

  • Kenaikan Biaya Pendidikan Melebihi Inflasi

Menyiapkan dana pendidikan harus sudah di mulai sejak dini. Namun, para orang tua juga harus waspada, meski sudah menyiapkan dana pendidikan sejak dini, biaya pendidikan terus naik setiap tahunnya.

Menurut Kusuma (Senin (02/10/2017) : Detikdinance) menjelaskan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi sebesar 0,13% pada September 2017. Penyebabnya adalah biaya pendidikan dan rekreasi dengan inflasi mencapai 1,01% dan andil 0,08%. Komponen turunnya antara lain kenaikan uang kuliah dengan andil 0,04%, uang sekolah SD-SMA andinya 0,01%, dan kenaikan tarif komponen rekreasi 0,01%.

  • Pendidikan Tidak Berbasis Cita-Cita Peserta Didik

Masalah yang paling fatal dalam pendidikan adalah sampai saat ini pendidikan sama sekali tidak dengan sesungguhnya ingin mencerdaskan dan ingin mendidik supaya generasi muda mendapatkan masa depan yang jelas. Manajemen pendidikan belum memperhatikan dan belum menganggap penting untuk mengembangkan anak sesuai dengan potensinya.

Harus diakui bahwa peserta didik mayoritas sama sekali tidak memiliki cita-cita untuk menjadi apa kelak, meskipun beberapa peserta didik ada yang mempunyai cita-cita tetapi mungkin hanya bersifat semu dan hanya pengakuan verbal semata. Yang terjadi adalah peserta didik belajar secara mengambang dan tidak memiliki arah yang jelas, serta bagi peserta didik tersebut yang terpenting adalah berangkat ke sekolah. Satu hal yang tak kalah penting adalah manajemen pendidikan tidak mengarahkan peserta didik untuk mewujudkan cita-citanya, namun bagaimana peserta didik agar bisa menghapal semua materi pelajaran tanpa terkecuali.

  • Diskriminasi Status Guru

Masih adanya kesenjangan pendapatan, tunjangan, dan fasilitas oleh guru tidak tetap (honore), menunjukkan bahwa pemerintah melakukan diskriminatif.

Hal tersebut terjadi karena perintah menggolongkan guru menjadi beberapa kelompok, yaitu Guru PNS, PNS Depag, PNS DPK, Guru Bantu, Guru Honor Daerah, Guru Tetap Yayasan, dan Guru Tidak Tetap. Penggolongan inilah yang mengakibatkan ada perbedaan pendapatan, tunjangan, dan fasilitas yang diterima oleh guru.

Menurut Akuntono (Jum’at (25/11/2011) : Kompas.com) menjelaskan kesenjangan pendapat dilihat dari penghasilan yang diterima oleh guru PNS bisa mencapai Rp6 jt perbuan. Sementara itu, fasilitas lain yang diterima oleh para guru PNS adalah tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lainnya.

Berbanding terbalik yang diterima oleh guru honorer. Guru tidak tetap (honorer) hanya mendapatkan honor dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarnya bervariasi, mulai dari Rp200 ribu sampai Rp500 ribu per bulan. Tidak hanya itu, guru honorer sulit memperoleh kesempatan untuk mengikuti program sertifikasi.

  • Budaya Mencontek

Pendidikan di Indonesia yang hanya menilai dari hasil akhir tanpa peduli prosesnya membuat peserta didik menginginkan hasil akhir yang sebesar-besarnya. Hal ini membuat peserta didik mau melakukan apapun demi mendapatkan nilai yang tinggi, salah satunya yaitu dengan mencontek, baik membawa contekan maupun melihat jawaban teman.

Menurut Masada dan Dachmiati (2016 : 228) mengatakan bahwa kegiatan memanipulasi dan aksi berbuat curang serta membodohi diri sendiri dilakukan ketika guru melakukan evaluasi, ujian dan ulangan mulai diadakan.

Jika kegiatan budaya mencontek bagi peserta didik terus berlanjut maka hal tersebut akan berdampak pada kehidupannya. Artinya, berbuat curang dengan cara meniru sesuatu dari tingkat sekolah dasar, hingga lanjut ke perguruan tinggi, bahkan bila sudah dianggap biasa dan menjadi jalan pintas untuk mendapat sesuatu tanpa harus bekerja. Hal ini berakibat pada hilangnya kegiatan berpikir kreatif yang berguna dan kesadaran diri atas baik dan buruknya perbuatan yang telah dilakukan. Nilai moral bagi peserta didik sudah tidak berlaku lagi.

  • Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan seperti (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia Internasional sangat rendah, dalam hal ini prestasi siswa Indonesia jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai Negara tetangga terdekat.

Anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai materi bacaan dan sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin terjadi karena siswa Indonesia sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

  • Kasus Bullying di Kalangan Peserta Didik

Kasus bullying biasa dilakukan senior terhadap junior (kakak kelas terhadap adik kelas) ataupun terhadap teman sejawat. Biasanya  bullying hanya dilakukan sebagai candaan maupun untuk menindas korbannya. Terkadang kasus bullying dianggap wajar dalam pergaulan sehari-hari, namun apabila dilakukan secara berlebihan akan menimbulkan trauma bagi korbannya.

Menurut Masdin (2013 : 82) menjelaskan bahwa dampak bullying terhadap korban (dalam hal ini peserta didik) berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga dapat menimbulkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para peserta didik.

  • Ranking Pendidikan Indonesia yang Buruk

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada uturan ke-21 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang di survei di dunia.

Di Asia Tenggara, ranking pendidikan Indonesia berada pada ranking ke 5 dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Seharusnya ranking pendidikan di Indonesia bisa sejajar dengan Negara-negara maju dengan anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN atau lebih dari Rp444 triliun.

Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan di Indonesia heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional, tetapi lebih bayak disebabkan kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia.

  • Keterbatasan Fasilitas Komputer dan Internet

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau, peserta didik di Riau terdiri dari SMA/MA/SMK termasuk SMA Luar Biasa (LB) yang siap untuk mengikuti UN ada sebanyak 78.485 siswa.

Menurut Muharmansyah (Senin (10/04/2017) : Kumparan) mengatakan siswa yang akan melaksanakan UN dengan sistem UNBK hanya berjumlah 49.313 siswa. Sisanya menjalani UN dengan sistem UNPK yang totalnya adalah 39.085 siswa.

Keterbatasan jumlah komputer yang ada di Provinsi Riau menjadi salah satu sebab sebagian siswa masih melaksanakan UN dengan sistem UNPK. Selain itu, pelaksanaan UNBK juga terkendala dengan masih terbatasnya jaringan internet di sejumlah daerah di Provinsi Riau.

  • Tingginya Angka Putus Sekolah

Putus sekolah bukan merupakan persoalan baru dalam sejarah pendidikan. Persoalan ini telah berakar dan sulit untuk di pecahkan, sebab ketika membicarakan solusi maka tidak ada pilihan lain kecuali memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.

Menurut Muhammad, Madani, dan Risfaisal (2016 : 184-185) mengatakan ada banyak faktor yang menyebabkan putus sekolah seperti keterbatasan dana pendidikan karena kesulitan ekonomi, kurangnya fasilitas pendidikan, dan karena adanya faktor lingkungan (pergaulan). Pemenuhan hak pendidikan tersebut diperoleh secara formal di sekolah, secara informal melalui keluarga. Khususnya pendidikan formal tidak semua anak mendapatkan haknya karena kondisi-kondisi yang memungkinkan orang tuanya tidak dapat memenuhinya. 

Selain itu, angka putus sekolah juga dipengaruhi oleh Program BOS, BSM, dan KIP yang perlu dievaluasi karena nyatanya masih banyak anak miskin yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut. 

  • Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.

Menurut Idris (2010 : 99) memaparkan ada beberapa faktor yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan, yaitu:

  1. Kurangnya dukungan dan subsidi pemerintah.
  2. Anggaran pembiayaan sekolah tidak efektif dan efisien.
  3. Kurang adanya demokratisasi dan transparansi pengelolaan sekolah.
  4.  Lemahnya pengawasan dan pengontrolan pungutan biaya sekolah dari pemerintah.
  5. Kurangnya kesejahteraan guru.
  6. Tidak ada standarisasi biaya operasional sekolah.

Kondisi seperti ini yang akan memiliki dampak jangka panjnag yang amat luas terhadap survival bangsa ini secara keseluruhan. Bisa dibayangkan berapa talenta yang mati hanya karena keluarga tidak mampu menanggung beban biaya pendidikan.

  • Rasio Guru dan Murid

Tak kalah pentingnya dalam permasalahan di bidang pendidikan yang di alami Indonesia adalah banyaknya murid dalam satu kelas. Sementara setiap anak memiliki permasalahan dan karakter yang berbeda-beda, hal inilah yang membuat guru menjadi kewalahan.

Berdasarkan data Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), rasio perbandingan antara guru dan murid di Indonesia merupakan yang paling terendah di dunia. Hal itu dipengaruhi perekrutan guru yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan melampaui jumlah pendaftaran murid di segala aspek tingkat pendidikan. Dalam hal ini yang mendapat dampak secara langsung adalah murid, dikarenakan terlalu banyaknya murid yang akan belajar dengan satu guru akan dapat memecahkan konsentrasi anak.

  • Pelajar Asyik Nonton Video Porno di dalam Kelas

Seiring dengan majunya perkembangan teknologi, maka sebagai peserta didik harus mampu menggunakannya dengan sebaik mungkin agar tidak terjerumus dengan hal-hal yang berbau negatif. Tetapi lain halnya yang dilakukan peserta didik sekarang ini.

Menurut Purnama (Selasa (25/02/2017) : News.com) memaparkan bahwa, dalam foto terlihat sejumlah pria mengenakan seragam pramuka asyik menonton video porno di layar proyektor di dalam kelas. Perbuatan memalukan itu di duga dilakukan peserta didik pada saat guru tidak berada dikelas.

  • Siswa Pengeroyok Cleaning Service Dikeluarkan dari Sekolah

Perubahan zaman dan teknologi semakin membuat siswa kehilangan akal dan budi pekerti. Bagaimana tidak, beberapa siswa mengupat dan kemudian mengeroyok seorang cleaning service hingga terluka parah dan banyak cucuran darah menetes hingga baju.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) langsung bertindak dan mengatakan pihaknya harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan dinas pendidikan dan pihak sekolah untuk menanyakan posisi kasus yang terjadi agar mengetahui lebih factual mengenai peristiwa tersebut.

  • Siswa Tantang Guru Honorer karena Ditegur saat Merokok

Dewasa ini, tindakan dan perilaku siswa diluar batas kewajaran. Hal tersebut terjadi karena arus informasi dan teknologi yang menyebabkan terpengaruhnya pemikiran siswa.

Siswa cenderung berani untuk melawan guru. Sebagai contoh, siswa menghajar guru karena tidak terima ditegur ketika ketahuan merokok. Bahkan, lebih parah lagi siswa yang bersangkutan membuat kegaduhan diruang kelas dan kemudian direkam salah satu temannya.

  • Sistem Seleksi CPNS Tidak Berbasis Kompetensi Bidang Studi

Disinilah mungkin awal mula keterpurukan dunia pendidikan. Seleksi CPNS keguruan sampai saat ini tidak berbasis kompetensi bidang studi, namun dengan sistemn generalisasi, semua disamakan. Akibatnya peluang CPNS Keguruan yang lolos bukan berdasarkan kompensinya sangat terbuka.

Menurut Syam dan Bahfiarti (2016 : 336) memaparkan bahwa proses penerimaan seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia masih sangat buruk dan menimbulkan kerawanan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Proses pendaftaran yang rumit ditambah seleksi yang konvensional menunjukkan sejak dini Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah dikondisikan dalam sebuah situasi kerja yang birokratis, “superficial” serta tidak berbasis pada keahlian atau kompetensi secara menyeluruh.

Hal ini mengakibatnya banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Sehingga, masalah tersebut dapat berakitbat fatal bagi peserta didik apabila guru tersebut tidak dapat menguasai dengan baik bidang studi yang akan dijalaninya.

BAB III

PENUTUP

  • Kesimpulan

Permasalahan demi permasalahan di Indonesia dituai tiap tahunnya. Permasalahan pun muncul mulai dari aras input, proses, sampai output. Ketiga aras ini sejatinya saling berkaitan satu sama lain. Input mempengaruhi keberlanjutan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran turut mempengaruhi hasil output. Seterusnya, output akan berlanjut ke input dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi atau masuk ke dalam dunia kerja, dimana teori mulai dipraktekkan.

Kasus-kasus permasalahan yang dihadapai dunia pendidikan di Indonesia, adalah :

  • Kualitas pendidikan Indonesia masih rendah
    • Masalah pemerataan pendidikan
    • Ruang kelas rusak, siswa SD di Kudus belajar di ruang perpustakaan
    • Paradigma peserta didik yang sertificate oriented
    • Lemahnya pengakuan Negara atas pendidikan di pesantren
    •  Munculnya benih paham radikalisme dan krisis nasionalisme
    • Masih rendahnya kesejahteraan guru di Indoneisa
    • Pungutan liar di sekolah masih merajalela
    • Paradigma tujuan pendidikan di masyarakat masih banyak yang salah
    • Ketidak-serasian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja
    • Wajib belajar 12 tahun masih sebatas retrorika
    • Maraknya kasus kekerasan yang ada di sekolah
    • Rendahnya kompetensi guru
    • Tertinggalnya pendidikan di daerah terpencil
    • Kurikulum yang selalu berubah-ubah
    • Kondisi darurat yang terjadi lantaran banyak kasus korupsi yang berkaitan dengan anggaran pendidikan
    • Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
    • Banyaknya kasus pelanggaran HAM
    • Pendidik dan tenaga kependidikan kurang inovatif
    • Kurangnya keteladanan
    • Aspek pendidikan di daerah terpencil jadi tantangan berat pemerintah
    • Pendidikan di pedalaman Papua memprihatinkan
    • Sistem pendidikan yang belum berjalan dengan baik
    • Minimnya fasilitas penunjang belajar di sekolah
    • Kontroversi diselenggarakannya Ujian Nasional (UN)
    • Kenaikan biaya pendidikan melebihi inflasi
    • Pendidikan tidak berbasis cita-cita peserta didik
    • Dikriminasi status guru
    • Budaya mencontek
    • Rendahnya prestasi siswa
    • Kasus bullying di kalangan peserta didik
    • Ranking pendidikan Indonesia yang buruk
    • Keterbatasan fasilitas komputer dan internet
    • Tingginya angka putus sekolah
    • Mahalnya biaya pendidikan
    • Rasio guru dan murid
    • Pelajar asyik nonton video porno di dalam kelas
    • Siswa pengoroyok cleaning service dikeluarkan dari sekolah
    • Siswa tantang guru honorer karena ditegur saat merokok
    • Sistem seleksi CPNS tidak berbasis kompetensi bidang studi

DAFTAR PUSTAKA

Akuntono, Indra. Hilangkan Diskriminasi Status Guru. Kompas.com Jernih Melihat Dunia. Jum’at, 25 Novemver 2011. https://edukasi.kompas.com/read/2011/11/25/16571733/Hilangkan.Diskriminasi.Status.Guru. Diakses pada 12 Maret 2019. 

Fauzie, Yuli Yanna. Bank Dunia : Kualitas Pendidikan Indonesia Masih Rendah. CNN Indonesia. Kamis, 07 Juni 2018. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180607113429-284-304214/bank-dunia-kualitas-pendidikan-indonesia-masih-rendah. Diakses pada 28 Februari 2019.

Firli, Riza. 6 Fakta Menyedihkan Pendidikan di Indonesia. Beritagar.id. Sabtu, 02 Mei 2015. https://beritagar.id/artikel/berita/6-fakta-menyedihkan-mengenai-pendidikan-di-indonesia. Diakses pada 02 maret 2019.

Hartik, Andi. Akses Pendidikan di Daerah Terpencil Jadi Tantangan Pemerintah. Jum’at, 04 November 2019. https://regional.kompas.com/read/2016/11/04/07093351/akses.pendidikan.di.daerah.terpencil.jadi.tantangan.berat.pemerintah. Diakses pada 08 Maret 2019. 

Hermawan, Bayu. Tujuh Masalah dalam Pendidikan di Indonesia Menurut JPPI. Republika. Rabu, 03 Mei 2017. https://republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/17/05/03/opchjr354-ini-tujuh-masalah-pendidikan-di-indonesia-menurut-jppi. Diakses pada 01 Maret 2019.

Idris, Ridwan. 2010. APBN Pendidikan dan Mahalnya Biaya Pendidikan. Lentera Pendidikan (online). Vol. 13 No. 1.

Kusuma, Hendra. Penyebab Inflasi 0,13% : Kenaikan Biaya SD, SMA, Hingga Kuliah. Detikfinance. Senin, 02 Oktober 2017. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3666561/penyebab-inflasi-013-kenaikan-biaya-sd-sma–hingga-kuliah. Diakses pada 12 Maret 2019.

Masada, Christine dan Sabrina Dachmiati. 2016. Faktor Pemengaruh Perilaku Siswa dan Mahasiswa Menyontek. Sosio-E-Kons. Vol. 8 No. 3. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=2ahUKEwixm7-7s4jhAhUB148KHYW8CtwQFjADegQIBxAC&url=http%3A%2F%2Fjournal.lppmunindra.ac.id%2Findex.php%2Fsosio_ekons%2Farticle%2Fdownload%2F1168%2F1049&usg=AOvVaw26Ea9rxFqcPs6v-z274eht. Diakses pada 13 Maret 2019.

Masdin. 2013. Fenomena Bullying dalam Pendidikan. Jurnal Al-Ta’dib. Vol. 6 No. 2.

Muhammad, Rahmad, Madani Muhlis, dan Risfaisal. 2016. Perilaku Sosial Anak Putus Sekolah. Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi. ISSN e-2477-0221 p-2339-2401. Vol. 4 No. 2.

Muhammedi. 2016. Perubahan Kurikulum di Indonesia : Studi Kritis Tentang Upaya Menemukan Kurikulum Pendidikan Islam yang Ideal. Raudhah. Vol. 4, No.1.  

Muharmansyah, David. Berbagai Masalah UNBK di Daerah Terpencil Nusantara. Kumparan. Senin, 10 April 2017. https://kumparan.com/@kumparannews/berbagai-masalah-unbk-di-daerah-daerah-terpencil-nusantara. Diakses pada 14 Maret 2019.

Muis, Tamsil, Muhammad Syafiq, dan Siti Ina Savira. 2011. Bentuk, Penyebab, dan Dampak dari Tindak Kekerasan Guru Terhadap Siswa dalam Interaksi Belajar Mengajar dari Perspektif Siswa di SMPN Kota Surabaya : Sebuah Survey. Jurnal Psikologi : Teori dan Terapan. Vol. 1, No. 2. 

Nadlir Moh. Komnas HAM Catat 4 Kondisi Darurat Pendidikan Indonesia. Kompas.com. senin. 19 Maret 2018. https://nasional.kompas.com/read/2018/05/02/12581141/komnas-ham-catat-4-kondisi-darurat-pendidikan-indonesia. Diakses pada 05 Maret 2019.

Pogau, Oktovianus. Pendidikan di Pedalaman Papua Memprihatinkan. Detiknews. Kamis, 04 September 2008. https://news.detik.com/opini/d-1000002/pendidikan-di-pedalaman-papua-memprihatinkan. Diakses pada 10 Maret 2019. 

Purnama, P Ratna. Geger Lagi, Pelajar Asyik Nonoton Video Porno di Dalam Kelas. News.com. Selasa, 25 Juli 2017. https://metro.sindonews.com/read/1223912/170/geger-lagi-pelajar-asyik-nonton-video-porno-di-dalam-kelas-1500985462. Diakses pada 17 Maret 2017.

Rohman, Miftahur. 2016. Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem Pendidikan Nasional. Vol. 14, No. 1.

Setiawan, Wikha. Ruang Kelas Rusak, Siswa SD di Kudus Belajar di Ruang Perpustakaan. DetikNews. Kamis, 05 Oktober 2017. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3671713/ruang-kelas-rusak-siswa-sd-di-kudus-belajar-di-ruang-perpustakaan?_ga=2.39928353.2063192733.1552632633-1748177328.1552632633. Diakses pada 01 Maret 2019.

Syam, Anysyah dan Tuti Bahfiarti. 2016. Opini Peserta Terhadap Tingkat Transparasi Seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Melalui Metode Computer Assisted Test (CAT) Pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sulawesi Barat. Jurnal Komunikasi KAREBA. Vol. 5 No. 2.

Welkis, Yulianda. Masalah Pendidikan di Indonesia (Berdasarkan Mutu atau Kualitasnya). Timor Express. Selasa, 10 januari 2017. http://timorexpress.fajar.co.id/2017/01/10/masalah-pendidikan-di-indonesia/. Diakses pada 12 Maret 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

EVALUASI